BEDA PENDAPAT...? Boleh Saja, asal.............

. Rabu, 25 Mei 2011
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


11:118
11:119
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS. Hud 118 - 119)

          Mejadi keniscayaan (sunnatulloh) bahwa perbedaan itu akan tetap dan selalu ada, hatta pada pribadi orang kembar sekalipun, sisi fisik, penampilan, gaya bicara, gaya berjalan, selera, dan tentunya pendapat / pemikiran. Diperlukan kebesaran jiwa dan kelapangan hati untuk bisa memahami perbedaan itu. Namun ada juga perbedaan yang mutlak dan tidak bisa di kompromikan, yaitu masalah ideologi sebagai hamba terhadap Sang Pencipta. Kalau ada yang berpendapat, bahwa Allah lebih dari satu, berputra dan diputrakan, maka saya pasti menolak, karena ini prinsip tauhid yang saya yakini.
          Prinsip dasarnya, dalam Islam Allah SWT telah memberikan guidance pada umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar  tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)

PERBEDAAN YANG MUNGKIN
         Perbedaan akan menjadikan kehidupan lebih harmonis, penuh warna. Betapa susahnya kita, andaikan Allah memberikan bentuk jari tangan dan kaki kita dalam ukuran yang sama, tentu kita akan susah bekerja. Andai gigi kita taring semua, apa yang akan terjadi pada mulut kita, hi... ngeri. Itulah perbedaan yang justru berkah dan rahmat, yang menjadi SARANA HIDUP ini (wasailul hayyat). Perbedaan akan menjadi terasa "panas" ketika menyentuh urusan JALAN HIDUP (minhajul hayyah) dan akan sangat krusial ketika terkait dengan ESENSI AGAMA (dzatuddiin)
Secara garis besar perbedaan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok :

  1. Perbedaan pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan Allah dalam mukadimah diatas (QS. Hud 118 - 119). Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah : “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” QS 2:21
  2. Perbedaan pada Qaidah Kulliyah (kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah, Qadariyah,  Rafidhah, dsb.1.      
  3. Perbedaan pada Furu’iyyah (cabang). Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah dasar prinsipil dan  kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang) syari’ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :” …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya. Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59) Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran aplikasi/furu’iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada sunnahnya setelah rasul wafat. Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja terdapat dua alur:
  • pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua benar”
  • pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat. Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya.  Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala”.  
MENYIKAPI PERBEDAAN

          Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari’ah samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah berfikir mendalam.
Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath’ulliynah (penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.
Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang tidak.
 Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah (para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al Muwattha’nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik : “Jangan kamu lakukan  wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami ”
Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran. 

ADAB DISKUSI DAN BEDA PENDAPAT
          Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :
  1. Tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”
  2. Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang  terjadi atau mungkin terjadi.  
  3. Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah.
  4. Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah. As Syafi’iy berkata:  “Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya”   
  5. Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu probelem ke problem lain.
  6. Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.

Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir. Semoga ini menjadikan kita lebih dewasa dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan.
   
Wallahu a'lam.

sumber : Kumpulan Materi Tarbiyah (KOMATA)









          

         

0 comments: